Kiat Membuat Film Tentang dan Bersama Transpuan

Pada 30 Januari 2022 lalu, In-Docs dan INTAN (Yayasan Inklusi Trans Perempuan Indonesia) menghadirkan pemutaran dan diskusi tiga film dokumenter bertema transpuan, yaitu Perempuan Tanpa Vagina (2019), Cunenk (2021), dan Penghakiman Nama (2021).

Dipandu oleh Rebecca Nyuei (Yayasan Hivos) bersama dengan narasumber Merlyn Sopjan (penulis dan ketua Yayasan INTAN), Anggun Pradesha (sutradara dan wakil ketua Yayasan INTAN), dr. Alegra Wolter (dokter dan aktivis gender), dan Miss Cunenk (influencer dan protagonis film Cunenk), diskusi membahas refleksi ketiga film serta kaitannya dengan identitas diri transpuan, kesehatan mental, dan kontribusi transpuan di masyarakat.

Salah satu poin bahasan paling menarik adalah soal narasi, representasi, dan etika dalam menampilkan cerita tentang transgender. Simak rangkuman kami di bawah ini untuk membantumu bila sedang membuat film dokumenter yang mengangkat isu transgender, khususnya transpuan.

Tonton diskusi lengkapnya di video ini.

1. Tanya, Tanya, dan Tanya

Tidak ada jalan lain untuk mengetahui perspektif dari subjek dan isu transgender selain banyak bertanya langsung kepada individu maupun komunitas transgender.

Tidak hanya untuk riset latar belakang, tapi kamu juga bisa menanyakan apakah narasi yang ditampilkan sudah tepat guna dan sesuai keinginan subyek.

Anggun juga menambahkan bahwa riset yang mendalam harus dilakukan dengan benar. Niat baik saja tidak cukup.

“Jangan hanya dengan bertanya ke satu atau dua orang lalu langsung merasa diri paling tahu. Apalagi kalau masih punya celah bias. Kan bisa duduk bareng atau FGD dengan banyak orang satu per satu untuk bisa mendapatkan masukan soal perspektif dan narasi paling tepat,” kata Anggun.

2. Representation Matters

Bagaimana transgender ditampilkan di layar punya sejarah kelam yang panjang. Sudah terlalu banyak karya yang terjebak menempatkan tokoh transgender sebagai bahan komedi bulan-bulanan, dan akhirnya merendahkan martabat transgender. Di kasus lain, transgender juga sering ditampilkan over-sexualised, salah satunya karena stigma satu-satunya profesi transgender adalah pekerja seks.

“Narasi waria sebagai profesi juga kurang tepat. Menjadi transgender itu identitas, bukan profesi,” tangkis Alegra terhadap premis film Lovely Man.

Kehidupan transgender lebih kompleks daripada itu. Melihat seluruh pembicara saja, selain aktivis, mereka pun aktif bekerja di berbagai ranah. Rebecca bekerja di lembaga non-profit ternama, Merlyn adalah penulis buku, Anggun telah berkarir sebagai filmmaker, Cunenk sebagai influencer juga pernah menulis skripsi riset tentang identitas penari Lengger, dan Alegra Wolter adalah dokter pertama yang membuka identitas transgendernya secara publik.

3. Bangun Narasi yang Sesuai

Alegra menambahkan bahwa narasi negatif di dalam film dan serial televisi punya dampak mempersempit pemaknaan diri sendiri dari komunitas transgender. Salah satu yang paling kentara adalah cerita yang fokus pada kesedihan dan beratnya hidup menjadi transgender.

“Harusnya narasi ini tidak terus-terusan ditampilkan karena malah akan membatasi ruang gerak dan pemahaman seorang transgender,” kata Alegra.

Menurutnya, kita harus berupaya narasi negatif ini tidak menjelma menjadi realita. Ada banyak caranya, dari menampilkan keseharian dan interaksinya dengan masyarakat, atau menampilkan momen-momen kebahagiaan dari kehidupan transgender.

“Pengalaman diri sebagai perempuan bagi transpuan dan keseharian transgender yang biasa-biasa saja melebur di masyarakat juga penting untuk diangkat. Aku juga sangat berharap ada cerita-cerita membahagiakan. Dari pengalaman pertama dipanggil ‘Bu’, masuk toilet perempuan pertama kali, beli BH pertama, dan sebagainya. Itu kan gender euphoria, kondisi di mana seorang transgender semakin nyaman dengan identitasnya,” tambah Alegra.

4. Libatkan Transpuan secara Bermakna

Tidak ada salahnya bagi filmmaker non-transgender untuk mengangkat isu transgender. Bisa jadi, hubungan personalmu dengan subjek transgender bisa sangat dekat hingga dipercaya untuk merekamnya ke layar. Mungkin kamu adalah kerabat, pasangan, atau sahabat dekat protagonismu.

Namun, kamu merekam bukan untuk mengambil cerita orang lain saja. Kamu harus empatik terhadap subjek. Apalagi, kalau kamu bukan seorang transgender.

“Yang paling tahu soal isu transpuan adalah transpuan itu sendiri. Jadi etisnya, terutama dalam dokumenter, harus melibatkan dan menampilkan transpuan sebagai narasumber atau tokoh langsung agar isu yang ditampilkan sesuai dengan perspektif subyek langsung seperti realita yang ada,“ kata Merlyn.

Lebih baik lagi kalau kamu bisa membentuk tim dengan mayoritas anggotanya adalah transgender. Tidak perlu jauh-jauh, salah satunya adalah Anggun, yang menjadi pembicara di sesi ini. Kami bisa bantu, and we are happy to connect you with her if you’d like to work with her 🙂

Tak kenal maka tak sayang. Bila sudah sayang, kita bisa spread love ke semua orang.

Salah satu bentuknya, Anda bisa mendukung gerakan INTAN dalam memperkuat pemberdayaan transpuan dengan donasi pada laman di bawah ini.

Impact Screening merupakan wadah pemutaran dan diskusi topik yang berkaitan dengan enam dokumenter keluaran lokakarya Indonesia Distanced Stories. Program ini didukung oleh British Council Indonesia.

BACA JUGA

dbtsi19

Perjalanan Panjang In-Docs

Retelling In-Docs’ story is like having a reflection back to the story of Indonesia’s democracy itself. The journey is parallel and cannot be separated from…