Orang dengan disabilitas telah lama berjuang untuk mendapatkan hak dan peluang yang setara di industri film. Di depan layar minim representasi, di belakang layar minim opportunity.
Lalu bagaimana caranya kita memproduksi dan mendistribusikan film dengan lebih inklusif? February lalu, EngageMedia dan In-Docs mengadakan edisi kedua dari ImpactTalks dengan tema "Inklusifitas Dalam Mewujudkan Impact" untuk berbagi pengalaman dan panduan tepat guna bekerja bersama orang dengan disabilitas di dunia film.
Selama sesi, tiga filmmaker berbagi makna inklusivitas di produksi film menurut mereka, serta bagaimana mereka menjalankan prinsip tersebut untuk mendukung dan mencapai representasi tepat dan bermakna.
Foto bersama saat sesi Impact Talks
Keterlibatan Bermakna dalam Produksi
Orang dengan disabilitas dibuat tidak berdaya karena lingkungannya, bukan karena kondisi fisik atau mental mereka. Lantas, orang dengan disabilitas selalu punya cara untuk menjalani hidupnya, tidak seperti yang kebanyakan orang bayangkan. Film Wahyu Utami, The Unseen Words, menangkap ini dari sudut pandang kelompok seniman ketoprak dengan disabilitas netra bernama Distra Budaya. Mereka punya cara mereka untuk mengidentifikasi ruang gerak di panggung, hingga punya guyon-guyon khas mereka sendiri.
Membicarakan inklusivitas dalam film tidak hanya soal akses bagi penonton seperti close caption dan deskripsi audio, tapi juga akses pekerja dengan disabilitas di balik layar dan representasi di depan layar.
“Saya sebetulnya suka banget nonton film. Tapi jadinya jarang, karena kebanyakan tokoh Tuli di film Indonesia malah diperankan aktor dengar. Kebanyakan orang dengar sering berpikir karena kami Tuli, kami tidak mungkin kerja di film sama sekali”, kata Hasna Mufidah, sutradara Kereta Kita,Oleh karenanya, dalam film Kereta Kita, Mufi dan segenap kru mengangkat kisah romansa perempuan Dengar dan laki-laki Tuli yang diperankan aktor Tuli dan dibuat dengan mayoritas kru Tuli.
Satu langkah lanjutannya adalah mengedepankan perspektif orang dengan disabilitas sebagai titik tolak cerita. Ucu Agustin, sutradara Sejauh Kumelangkah, mengatakan tim produksi selalu aktif bertanya pada subyek dan komunitas Tunet apakah cerita yang mereka buat sudah sesuai dengan realita sehari-hari Tunet.
“Selama produksi, saya baru sadar kalau di Indonesia maupun di Amerika Serikat hampir seluruh hall telah terlanjur dibuat dengan perspektif dari orang non-disabilitas. Dari bangunan, lingkungan sekitar, transportasi publik, bahkan proyek film. Kami jadi harus unlearn dan belajar mendengarkan dari orang dengan disabilitas lebih sering supaya bisa membuat filmnya aksesibel,” ujar Ucu.
Tim film Sejauh Kumelangkah memuat orang dengan disabilitas di proses mereka: dari pembuatan close caption dan deskripsi audio, hingga merekrut pekerja dengan disabilitas netra sebagai staf komunikasi dan desain distribusi impact. Dengan begini, mereka mendapatkan masukan dan perspektif dari orang dengan disabilitas netra secara langsung dalam distribusi impact mereka.
Salah satunya adalah menambahkan promosi audio bagi Tunet yang disebar di grup Whatsapp. Ketersediaan juru bahasa isyarat dan film dengan versi close caption dan deskripsi audio juga dituliskan di materi promosi visual dan teks. Usaha ini tidak sia-sia. Mila K. Kamil, produser impact film ini, melihat adanya kenaikan peserta Tuli dan Tunet, target utama distribusi impact mereka.
Kebutuhan Menuntun Gaya
Framing dan angle kamera juga dapat memerlihatkan budaya dan kebutuhan orang dengan disabilitas. Dalam Kereta Kita,, Mufi menyatakan bahwa desain produksinya disesuaikan untuk bercerita tentang orang Tuli.
“Kami menggunakan medium shot dalam seluruh adegan dialog, dari perut hingga kepala, supaya bahasa isyarat Indonesianya (bisindo) terlihat secara penuh sebagai kebutuhan Tuli”, Mufidah said.
Behind-the-scenes dari Kereta Kita © Hasna Mufidah
Kebutuhan di atas perlu selalu dikomunikasikan antar tim. Apalagi, Kereta Kita, dibuat untuk seluruh jenis audiens, tidak hanya Tuli tapi juga untuk Dengar, menurut co-sutradara, Mayang Irsan.
“Ada beberapa shot yang perlu dipanjangkan supaya penonton Tuli bisa menangkap informasi visual lebih lama. Ada juga yang dipanjangkan supaya penonton Dengar bisa menangkap informasi audio. Kami, filmmaker Tuli dan Dengar, harus vokal dan pengertian kepada masing-masing pihak”, kata Mayang.
Percakapan ini juga terjadi di lini produksi lain. Di audio mixing misalnya, editor Tuli bisa berkontribusi dengan melihat grafik gelombang suara di perangkat editing. Dia dan editor Dengar lainnya jadi bisa mendiskusikan konsepnya. Selain itu, selama proses produksi, selalu ada juru bahasa isyarat untuk memfasilitasi komunikasi antara kru perekam suara dengan Mufi sebagai sutradara. Kru perekam suara tersebut jadi perlu mendeskripsikan tangkapan suaranya. Oleh karenanya, penting untuk memberi ruang dan waktu dalam proses produksi untuk mengelaborasi dan berdiskusi soal keputusan kreatif.
Usaha Tidak Mengkhianati
Mengusahakan inklusivitas membutuhkan upaya dan pikiran aktif di seluruh pegiat perfilman. Dengan memberi ruang bagi pekerja film dengan disabilitas, usaha-usaha ini akan semakin memiliki posisi yang wajar dan normal ketimbang dianggap sebagai pengecualian.
Behind-the-scene dari Sejauh Kumelangkah © Mila K. Kamil.
“Saya mulai terlibat di film setelah bertemu tiga filmmaker Dengar yang ingin belajar bisindo dengan saya. Mereka penasaran dan kami jadi banyak ngobrol. Dari sana, mereka menawarkan melibatkan saya di proyek dokumenter mereka. Hasilnya, kami membuat film pendek bersama yang masuk ke Shanghai International Deaf Film Festival.” ujar Mufi.
Bagi Wahyu Utami, film-film tentang disabilitas yang tepat representasi bisa memicu percakapan soal inklusivitas dan melawan stereotip dan miskonsepsi soal disabilitas bagi penontonnya.
“Bagi orang non-disabilitas, film saya ternyata membuka mata mereka. Asumsi buruk mereka soal orang dengan disabilitas jadi terpatahkan”, kata Uut, sapaan akrab Wahyu Utami.
Film tentang disabilitas yang baik juga bisa menguatkan penonton dengan disabilitas. “Salah satu penonton dengan disabilitas juga bilang kepada saya bahwa dia jadi percaya dan mau aktif berkesenian kembali”, tambah Uut.
Postingan ini ditulis secara kolaboratif oleh EngageMedia dan In-Docs. ImpactTalks adalah serangkaian pertemuan publik antara pembuat film, aktivis, juru kampanye, kurator film, produser impact, dan audiens yang tertarik untuk berbagi dan mendiskusikan pengalaman dan ide seputar menciptakan impact melalui film di Asia-Pasifik.