Indonesia Distanced Stories 2020
Indonesia Distanced Stories 2020 adalah lokakarya pembuatan dokumenter kreatif yang diselenggarakan In-Docs bersama dengan Scottish Documentary Institute dan British Council Indonesia. Hasil lokakarya ini berupaya menampilkan isu minoritas melalui film dokumenter pendek: transpuan (Cunenk)), keseharian keluarga difabel (Cinta Falhan), ibu guru & rumah tangga (Ibu Guru), lansia dan pembangunan (Karsih), petani perempuan (Kelompok Wanita Tani), dan seniman muda dengan Asperger (Merupa).
Di baliknya, peserta harus berjibaku menampilkan protagonis sebagai manusia dengan kompleksitas hidup yang dihadapi. Temuan menariknya: empati sudah diperlukan tidak hanya saat kamera menyala, tapi sejak pemilihan cerita hingga di meja editing.
Tulisan di bawah ini merekam obrolan kami dengan peserta Indonesia Distanced Stories 2020 untuk membongkar dapur kreatif pembuatan film-film mereka.
Tulisan ini terbagi menjadi dua: film-film dengan isu disabilitas & lansia; film-film dengan isu gender.
Obrolan ini dihadiri oleh
- Helga Theresia (Karsih)
- Ary Aristo (Merupa)
- M. Ismail & Fr. Magastowo (Cinta Falhan)
Ketika memutuskan ide untuk film, mana yang muncul di benak kalian terlebih dahulu: topik atau subjeknya?
Ismail: Sebelumnya, memang saya sudah kenal dengan keluarga yang menjadi subjek. Jadi saya sudah tahu beberapa bagian kehidupan mereka, meski tidak detail.
Lalu, dengan Magas, saya berdiskusi mau topik tentang apa, yang kira-kira menarik. Memang ada sedikit perbedaan pendapat – saya mau fokus ke memperlihatkan kondisi aktual keluarga difabel di lapangan, salah satunya sulitnya mendapatkan akses jaminan kesehatan dari pemerintah.
Magas: Kalau saya fokus ke kemanusiaannya. Saya rasa sulit juga kalau harus berurusan dengan keluar masuk kantor pemerintahan, apalagi sedang pandemi. Saya usulkan agar scope film dikecilkan, temanya adalah kasih sayang yang diterima oleh Farhan dari orang tuanya. Lokasinya jadi hanya di rumah. Tempat umumnya hanya di taman yang perizinannya lebih mudah. Filmnya juga jadi lebih rileks, bukan menunjukkan kesusahan itu, tapi bagaimana mereka justru kaya akan kasih sayang.
Ismail: Ketika kami tanya, mereka juga tidak mempermasalahkan difilmkan, karena ada visi dan misi yang sama. Kami sama-sama disabilitas, dan kami berpikir ini mungkin salah satu cara untuk kami menunjukkan apa saja isu dalam disabilitas.
Bagaimana dengan Helga?
Helga: Saya bertemu dengan subjeknya dulu, Bu Karsih, yang tinggal di dekat rumah saya. Awalnya, saya tidak ingin bikin sesuatu yang jauh. Saya melihat beliau dan ibu lain yang sudah berusia sekitar 50-60 an sering berkumpul dan berbincang bersama. Saya melihat hal tersebut unik dan ingin suatu hari nanti berbincang dengan mereka. Ketika Bu Karsih bercerita tentang dirinya, seperti merefleksikan ke diri sendiri, terutama soal keluarga. Keluarganya terkesan hangat dan membuat saya teringat keluarga saya, yang di saat pandemi ini, mau tidak mau jadi lebih dekat. Respons awal Bu Karsih malu, ketika bilang saya mau filmkan. Jadi saya biasakan dengan bawa kamera meski hanya ngobrol-ngobrol dulu sampai beliau lebih terbuka dan terbiasa.
Ketika Bu Karsih bercerita tentang dirinya, seperti merefleksikan ke diri sendiri, terutama soal keluarga. Keluarganya terkesan hangat dan membuat saya teringat keluarga saya, yang di saat pandemi ini, mau tidak mau jadi lebih dekat.
Respons awal Bu Karsih malu, ketika bilang saya mau filmkan. Jadi saya biasakan dengan bawa kamera meski hanya ngobrol-ngobrol dulu sampai beliau lebih terbuka dan terbiasa.
Bagaimana dengan Ary?
Ary: Ide ini sudah lama saya jadikan catatan, bahwa saya memiliki murid bernama Ferdi. Saya tidak punya kesulitan mendekati Ferdi karena dia murid dan teman saya.Sudah dua tahun dekat, ngobrol tentang apapun, termasuk minat masing-masing. Visi saya adalah ingin menampilkan apa yang tidak tampak dari diri Ferdi, yaitu alam imajinasinya, alam bawah sadarnya, bagaimana itu berkelindan dengan apa yang ia alami sehari-hari. Makanya saya memberi judul “Adegan (scene) dari yang Tak Tampak.
Ferdi juga bilang, “sikat” ketika saya mau filmkan. Orang tuanya sendiri juga sangat terbuka.
Bagaimana konsiderasi dari pemilihan cerita, perekaman gambar dan audio, serta konsep editing supaya bisa memotret subjek dengan lebih empatik?
Magas: Selain fokus film dipilih soal keluarga dan bukan kesusahan mereka, kami juga selalu mencoba mengambil gambar setara eye level subyek, supaya secara psikologis tidak memandang rendah subjek film. Saya banyak melihat film tentang disabilitas kameranya melihat ke bawah, seolah penonton ada di posisi yang lebih tinggi.
Saya juga hanya menggunakan natural light, termasuk saat malam. Karena kalau gambarnya bersih, itu tidak menggambarkan perasaan para subjek, bagaimana kehidupan mereka sedang tidak berjalan lancar. Saya kira noise dari gambar sedikit memberikan gambaran ketidaknyamanan ke penonton.
Selebihnya juga kebanyakan gambarnya menggunakan tripod untuk menduplikasi gerakan subjek yang tidak banyak, bukan orang yang gesit. Selain itu, jadi terasa lebih therapeutic, karena temanya kasih sayang juga.
Di proses editing-nya, saya malah banyak dapat masukan dari Mas Ismail karena ia yang jauh lebih sensitif (soal image disabilitas).
Ismail: Saat saya bekerja di SIGAB, terkait kasih sayang atau perlindungan anak, ada kode etik di organisasi kami bahwa ambil gambar itu tidak eksploitatif. Kalau ada adegan yang berbau eksploitatif, kami cut. Misalkan ketika Farhan lagi mandi, mungkin orang akan melihatnya kasihan. Itu kami cut.
Hal lainnya, kami juga tidak mau menampilkan subjek disabilitas sebagai orang super. Momen-momen yang dipilih lantas adalah keseharian mereka saja.
Bagaimana dengan Helga?
Helga: Kalau di film kami, awalnya bingung karena Bu Karsih tidak banyak bicara. Jadi kami bingung melihat emosi dan pikirannya. Tapi, mentor kami, Ann, justru mengatakan bahwa hal itu yang membuat menarik, tunjukkan saja dengan gestur-gesturnya. Ternyata juga, informasi eksplisitnya terjawab oleh orang sekitarnya. Ketika saya masuk ke keluarga Bu Karsih, mereka banyak bercerita tentang beliau.
Dari cara pengambilan, saya juga tidak menempatkan diri sebagai filmmaker yang ingin meraup ceritanya. Tapi lebih sebagai teman. Beliau menyambut saya sebagai anak yang suka berkunjung, datang ke rumahnya dan ngobrol. Ketika beliau sudah merasa nyaman, baru kamera dinyalakan.
Soal cerita, dari awal belum ketemu bagaimana fokus film Karsih. Baru ketika editing kami sadar fokusnya lebih ke keluarga. Tadinya mau meng-highlight bagaimana mereka digaji sangat kecil sebagai petugas kebersihan jalan. Tapi, saat mentoring, itu cukup sebagai latar konteks. Makanya yang ditonjolkan adalah soal keluarga dan bagaimana Bu Karsih tetap mau kerja di usia tua. Tentu ada momen beliau mengeluh, tapi porsinya dibuat tidak besar supaya tidak terkesan “ingin dikasihani” oleh penonton.
Bagaimana dari segi editing?
Ary: Untuk fokus, saya bilang di awal saya mencoba sebisa mungkin menampilkan sisi Ferdi sebagai manusia apa adanya, menghindari membuatnya terlihat menderita dan ada pihak-pihak “antagonis”. Kalau kondisinya Asperger, memangnya terus kenapa?
Mengenai apa yang ditunjukkan di layar, saya sempat ingin eksplorasi ada kelindan antara masa lalunya, imajinasinya, dan apa yang sedang dia lakukan, salah satunya divisualkan lewat animasi yang dibuat Ferdi.
Tapi, setelah proses diskusi dengan mentor, ternyata nggak semua bisa diwakili dengan animasi. Akhirnya, fokus ke visual yang lebih subtil. Seperti scene pembuka: di mobil saat hujan, atau saat dia main pedang-pedangan yang si Ferdi buat sendiri, mewakili sifat kekanak-kanakannya.
Ada relasi Ferdi yang saya tampilkan juga, dari orang tua, pengurus, seniman, dan pengunjung galeri. Perkaranya stigma orang dengan autisme atau asperger sulit untuk diajak berkomunikasi, bahkan tidak punya kepedulian bersosialisasi. Tapi, belum tentu. Ferdi lugas, gaya bicaranya luwes dengan orang lain: membicarakan trauma, masa depan, dan fenomena sosial. Ia sama saja dengan orang non-disabilitas.
Hal apa yang ingin dieksplorasi lebih jauh tapi terhambat batas waktu lokakarya? Atau adakah hal lain yang mau dibuat lebih dalam dengan isu yang mirip?
Ismail: Kalau waktunya lebih panjang, mungkin saya bisa mengambil lebih banyak momen lagi. Seperti misalnya Farhan pernah mendapatkan juara menulis, atau ibunya yang menggunakan kursi roda ketika bertemu dengan ibu-ibu lain.
Magas: Saya ingin melihat interaksi antara Farhan dengan teman-teman sebaya di sekolah. Itu yang saya tidak berhasil melihat. Saya juga tertarik untuk mengeksplorasi kemungkinan gaya partisipatoris, di mana saya juga akan memakai shot yang direkam oleh subyek sendiri.
Helga: Ingin bawa alat lebih proper. Biasanya kami sehari-hari ke sana, sound-nya kurang mumpuni. Nggak ada clip on dan lain-lain. Karena krunya cuma berdua, dan banyak footage yang dipakai ketika aku lagi sendiri, jadi soundnya agak berantakan
Ary: Yang bisa ditingkatkan lagi mungkin bahwa sebenarnya dialog saya dengan Ferdi itu juga bisa direkam dengan gaya partisipatoris, tapi kalau pendekatan seperti itu, saya perlu satu cameraman lagi
Ingin filmnya ditonton oleh siapa?
Magas: Ditonton oleh orang-orang yang mungkin tertarik dengan isunya. Harapannya mereka merasakan kasih sayang yang ada di keluarga tersebut, dan penonton bisa merefleksikannya, membayangkan keluarga mereka sendiri.
Ismail: Saya membayangkan ketika film ini ditonton, orang jadi termotivasi dan menyadari bahwa kerentanan tidak membuatmu jadi pribadi yang kurang. Saya juga ingin filmnya ditonton sebagai film keluarga.
Helga: Inginnya menampilkan suasana yang hangat. Selain itu, saya ingin agar filmmaker lain bisa ikut melongok ke sekeliling mereka. Ketika kita tahu ada apa di sekeliling kita, itu bisa jadi sesuatu yang luar biasa.
Ary: Saya berharap banyak anak muda yang menonton, sehingga mereka ikut terinspirasi untuk membuat karya yang bisa berdampak ke kehidupan orang lain. Saya juga ingin orang tua yang mungkin punya beban mental ketika membimbing anak dengan berkebutuhan khusus ikut menonton, sehingga mereka tahu bahwa mereka nggak sendirian.
Baca juga bagian gender
Obrolan ini dihadiri oleh
- Rofie Nur Fauzie & M. Sulaeman (Cunenk)
- Lies Nanci Supangkat & M. Arbani (Ibu Guru)
- Anita Reza Zein (Kelompok Wanita Tani)
Bagaimana awal perkenalan dengan subjek? Dan bagaimana memutuskan untuk menjadikan orang tersebut sebagai subjek utama film?
Rofie: Saya sudah kenal dengan Cunenk sejak 2015. Ada stigma bahwa transpuan tidak bisa berperan banyak dalam hal kebaikan, dan fokus film kami adalah bagaimana Cunenk berusaha berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Ketika berbicara soal ide film ini, Cunenk sangat antusias, karena dia yakin akan nilai yang ia punya, dan bagaimana ini bisa jadi inspirasi untuk kawan-kawan transpuan lain.
Nanci: Ceritanya waktu itu awal pandemi, anak saya ada ujian online dan gurunya Bu Vivi, protagonis film ini. Pertanyaannya soal siapa yang mencari nafkah dalam keluarga, dan siapa yang melakukan pekerjaan domestik dan mengurus anak. Anak saya, salah jawab pertanyaan pilihan gandanya karena, di keluarga kami, ibunya cari nafkah, ayahnya suka masak.
Saya concerned dan memutuskan ikut mendengarkan kelas Bu Vivi. Tapi, saya jadi tahu bahwa dia ternyata juga seorang ibu dan punya dua orang anak. Saya mulai tertarik mengenal sosok Bu Vivi. Setelah ketemuan dan ngobrol lebih banyak, terasa ada hal yang sama--sebagai pekerja di rumah dan luar rumah, ada banyak ketimpangan gender yang kami alami, ditambah situasi pandemi begini. Alhasil, saya coba tanyakan dia, keluarganya, dan pihak sekolah untuk difilmkan. Semuanya setuju, terutama Bu Vivi mungkin antusias karena nasib kami sama.
Anita: Awalnya, saya tahu dahulu tentang Mas Anang, fotografer yang punya proyek Panen Apa Hari ini? (What to Harvest Today?--menggabungkan tanaman dan foto anggota Kelompok Wanita Tani di Kulon Progo, Yogyakarta. Saya menanyakannya untuk difilmkan. Setelah setuju, beliau mengajak saya ke Kulon Progo dan memperkenalkan saya ke ibu-ibu itu.
Di pertemuan pertama itu, saya merasa sangat nyaman berkumpul dengan ibu-ibu tersebut. Mereka juga bercanda dengan satu sama lain. Walaupun ada saya, tapi mereka tidak jaim. Begitu saya tanyakan mau bikin film, awalnya malu-malu, tapi lama-lama familiar dan mereka mau.
Bagaimana konsiderasi dari pemilihan cerita, perekaman gambar dan audio, serta konsep editing supaya bisa memotret subjek dengan lebih empatik?
Rofie: Awalnya, saya cukup concerned, etikanya saya sebagai laki-laki dan bagaimana ngomongin isu tentang transpuan meskipun saya sangat tertarik? Saya akhirnya memposisikan diri sebagai orang awam dengan pertanyaan yang ingin mencari jawaban lewat film, ingin tahu lebih tentang transpuan, dan ingin membagikan hal-hal baru yang saya temukan. Saya selalu berhati-hati dalam hal memilah cerita, mengambil gambar, dan sebagainya, jangan sampai saya mendukung stigma yang melekat pada mereka.
Saya juga mungkin lumayan beruntung. Dari banyaknya donatur, satu-satunya yang mau (difilmkan) adalah pasangan suami-istri di film itu. Menarik karena background mereka kontras, tapi malah saling support.
Selama proses, dialog dengan Cunenk soal hal mana yang bisa dimasukkan atau tidak, sering terjadi. Salah satunya, karena Cunenk sering ditemani pacarnya. Awalnya kami (Rofie dan Eman) ingin memfokuskan film ini soal kasih sayang, jadi ada dari ke anak dan ibu, juga ke pasangan dia. Tapi tidak jadi, karena terlalu privat dan tidak disetujui Cunenk. Ini jadi konsiderasi etis untuk kami mematikan kamera di momen-momen tersebut.
Hal lainnya adalah soal scene penulisan nama Cunenk di Rumah Bersalin. Kami sempat khawatir juga sebenarnya apakah ok masuk di film, karena tahu nama lahir ini jadi isu penting untuk kawan-kawan transgender. Tapi kami konfirmasikan, dan dia bilang tidak masalah.
Proses semacam ini juga berlaku untuk pihak lain Seperti Rumah Bersalin Cuma-Cuma di film itu. Awalnya pihak RS tidak mau direkam. Kami coba tawarkan untuk rekam dulu kemudian kami perlihatkan hasil rekamannya. Kalau memang tidak mau, ya kami cut. Tapi setelah melihat hasil rekaman, mereka merasa tidak keberatan lagi. Sebagai refleksi, jadi ironis karena masalah seperti ini banyak terjadi pada Cunenk dan kawan transpuan lain di keseharian mereka.
Anita: Secara general, saya menjaga agar tidak mengeksotiskan kehidupan desa. Persepsi orang kota mungkin memandang desa sebagai tempat yang indah, seperti gambar gunung, sawah, matahari senyum, dan tanaman hijau-hijau. Sebagai orang yang tinggal di kota, di Yogyakarta, saya berusaha melihat keseharian mereka (protagonis dalam film), yang tidak serta merta monoton.
Mereka punya ritme, dimulai pagi suaminya buka bengkel, salah satu protagonis mulai kegiatan dari rumah, namun lalu juga keluar untuk kerja di kebun. Di kebun ini juga bisa menunjukkan kehidupan sosial bersama Kelompok Wanita Tani. Ada networking melalui kelompok ini, sharing knowledge. Mereka berbagi ilmu bercocok tanam. Mereka juga bercerita kehidupan pribadi masing-masing. Jadi saya sebenarnya ingin memperlihatkan bagaimana momen itu bergerak, dari rumah, ke kebun, dan sampai ke publik. Mungkin kayak bagaimana perjalanan sayur dari petani sampai ke kita.
Tapi ini tidak mudah karena saya mau merekam mereka sebagai kolektif sekaligus individu. Jadi, secara editing, saya buat kayak estafet--dari scene ibu ini di rumah, kemudian berjalan ke BMT, di mana ada beberapa ibu lain, kemudian masuk ke saat mereka berkebun. Bahkan di foto di pameran, saya juga ambil close-up foto ibu-ibu yang sudah diperkenalkan di scene-scene sebelumnya untuk membuat benang merah itu.
Nanci: Ryo dan saya sebisa mungkin mau memperlihatkan ketimpangan karena sistem kerja berbasis gender, salah satunya wage gap, antara karyawan single maupun suaminya. Maka, scene soal penilaian kerja dan testimoni Bu Vivi bahwa dia tidak mungkin nambah load kerja seperti suaminya karena harus mengurus rumah jadi penting.
Tapi, nyatanya di lapangan juga ada konsiderasi etis. Tadinya, kami mau rekam wawancara hingga ke level birokrasi lebih atas. Tapi, kami mengikuti keinginan Bu Vivi untuk tidak melakukannya karena malah memungkinkan Bu Vivi kehilangan pekerjaan.
Di satu sisi, menampilkan keluarga itu sensitif. Jadi kami nggak mau terang-terangan. Kami jadinya menempatkan kamera di sudut-sudut ruangan, supaya seluruh aktivitas satu sama lain bisa di-compare. Bagaimana yang satu nggak pernah berhenti bekerja, dari pagi sampai malam mengurus anak, kerja domestik, sementara yang satunya, suaminya, masih ada banyak waktu untuk mengurus pekerjaannya sendiri.
Di awal, saya cerita kalau saya adalah orang tua murid. Saya curiga mungkin Bu Vivi masih jaim di depan saya. Beruntung ketika berinteraksi dengan co-director Ryo, Bu Vivi malah jadi lepas sehingga Ryo bisa menangkap momen-momen yang lebih apa adanya.
Hal apa yang ingin dieksplorasi lebih jauh tapi terhambat batas waktu lokakarya? Atau adakah hal lain yang mau dibuat lebih dalam dengan isu yang mirip?
Nanci: Film ini sendiri sudah pas karena pandemi juga. Lebih kelihatan struggle seorang ibu yang juga punya pekerjaan di luar rumah. tapi saya sendiri juga berharap filmmaker lain juga membicarakan isu gender, dan terutama soal perempuan.
Anita: Mungkin buat saya, belum banyak kecuali perkara kesiapan teknis. Tapi kalau ada filmmaker lain, saya berharap banyak sih ada lebih banyak film soal kehidupan sehari-hari desa. Saya ingin lihat konteks lain bila desanya berbeda, atau kolektifnya berbeda.
Rofie: Di kesempatan lain, saya ingin terus mengeksplorasi hal-hal yang relatable dengan penonton dari background lain, untuk memperlihatkan kesamaan yang ada di antara kawan-kawan transgender dan cisgender, meskipun isu seperti akses yang juga penting.
Ada harapan filmnya bisa ditonton oleh siapa dan direspons seperti apa?
Anita: Kalau ditonton, secara umum, ingin ditonton sama siapa aja. Tapi, spesifiknya, saya ingin kasih putar film ini ke ibu-ibu yang ada di desa lain, kelompok wanita tani di daerah lain. Ketika itu bisa ditonton dengan kelompok wanita lain, saya penasaran dengan reaksi mereka. Karena mungkin itu bisa membuka diskusi baru.
Rofie: Saya punya harapan agar film ini ditonton dengan teman-teman trans lainnya. Saya juga ingin masyarakat umum bisa menonton ini, sehingga bisa lebih familiar dengan mereka dan mengurangi stigma yang melekat pada mereka.
Nanci: Lebih banyak ditonton sama perempuan. Banyak perempuan yang tidak mendapatkan kesempatan pendidikan dan bekerja seperti laki-laki. Kalau pelajaran yang diberikan ke anak-anak adalah tentang pekerjaan berdasarkan gender, rasanya siklus ini akan terus berulang sampai akhir zaman.
Ryo: Bagi saya, laki-laki juga harus menonton ini supaya lebih berempati dengan pasangannya. Ketika saya menempatkan diri sebagai penonton, saya merasa gambaran yang ditampilkan benar-benar ironis, bagaimana membangun rumah tangga yang harusnya sama-sama, tapi jobdesk bagi masing-masing pasangan jadi timpang.