Writing with Fire Menuju Panggung Dunia

Writing with Fire (2021) berhasil menjadi film dokumenter India pertama yang mendapatkan nominasi Academy Awards ke-94 (2022) untuk kategori Best Documentary Features. Sebelumnya, dokumenter ini telah menerima nominasi serupa dari IDA Documentary Awards (2022) serta memenangkan dua penghargaan dari Sundance Film Festival (2022) untuk kategori Special Jury Awards: Impacts for Change dan Audience Awards.

Writing with Fire berfokus pada perjalanan Khabar Lahariya, satu-satunya surat kabar lokal di India yang dioperasikan oleh wanita Dalit–kasta terendah di India, yang tengah mengalami transisi menuju jurnalisme digital. Cerita mengambil sudut pandang tiga jurnalis surat kabari ini, yaitu Meera, Suneeta, dan Shyamkali. 

In-Docs berkesempatan berbincang dengan sutradara Writing with Fire, Rintu Thomas dan Sushmit Ghosh pada Desember 2021 silam. Mereka berbagi pengalamannya dalam memproduksi film ini selama lima tahun.

Pendekatan yang terbuka dan jujur

Perjalanan panjang Rintu dan Sushmit dimulai saat mereka tidak sengaja mengetahui sosok Meera dari media sosial Facebook. Mereka lantas mencari tahu tentang Meera dan bertemu dengannya. 

“Kami berbincang tentang makna dan otentisitas berita. Lalu kami mengemukakan kepada Meera soal niat kami mendokumentasikan cerita dirinya dan Khabar Lahariya,” ujar Sushmit. 

Selain Meera, Rintu dan Sushmit juga berbincang dengan dua jurnalis lain; Suneeta dan Shyamkali. Menurut keduanya, bukan hal yang mudah saat harus menjelaskan intensi dan mendapat kepercayaan dari ketiga jurnalis. Mereka harus melakukan pendekatan secara perlahan dan terbuka. 

“Hal yang terpenting adalah bersikap jujur. Saat memulai proyek ini, kami tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses produksi dan kami jelaskan hal tersebut kepada ketiganya,” ujar Rintu. 

Ia menambahkan pendekatan lain yang dilakukan adalah selalu bersiap dengan segala keadaan dan mendengarkan saran dari karakter. 

“Intinya menyesuaikan dengan keadaan, jika tidak memungkinkan untuk mengambil gambar, maka jangan mengambil gambar. Apapun yang terjadi tim hanya mengambil gambar yang sesuai dan mendukung cerita,” ungkapnya.

Menambahkan pernyataan Rintu, Sushmit menceritakan pengalaman mengambil gambar dengan menggunakan kamera kecil. Menurutnya, hal ini juga dapat dinilai sebagai pendekatan terhadap karakter. 

“Kamera kecil bersifat adaptable, memudahkan kami untuk bergerak secara leluasa mengikuti keseharian mereka,” kata Sushmit.

Bercerita bukan berteori 

Tak bisa dipungkiri, proses produksi Writing with Fire yang membutuhkan waktu lama juga menghabiskan pendanaan yang cukup besar. Rintu mengungkapkan saat awal produksi, dokumenter ini menggunakan pendanaan dari proyek lain yang dijalankan oleh rumah produksinya, Black Ticket Films. Namun, model pendanaan ini tidak bertahan lama. Rintu dan Sushmit memutuskan untuk mencari pendanaan (grant) internasional. 

Keduanya mulai mencatat informasi pitching forum maupun lab yang menyediakan pendanaan, menyusun proposal proyek, dan berlatih pitching. Sushmit menceritakan kegagalannya menembus berbagai pitching forum dan lab hingga berhasil mendapatkan pendanaan dari Alter-Cine, sebuah yayasan asal Kanada yang menyediakan pendanaan untuk proyek dokumenter. 

“Itu adalah proses yang panjang. Hal yang kami pelajari dari menyusun proposal adalah Anda tidak bisa hanya menyusun satu proposal untuk berbagai kebutuhan. Anda harus menyesuaikan proposal dengan karakteristik masing-masing forum atau lab tersebut,” ujar Sushmit. 

Sushmit mencontohkan Sundance. Ia dan Rintu menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengisi dan memperbaiki proposal untuk Sundance. Keduanya secara bergantian menyusun proposal hingga menemukan struktur yang dirasa paling sesuai untuk merepresentasikan proyek mereka. 

“Di saat pandemi ketika pertemuan secara langsung harus dikurangi, proposal menjadi cara yang tepat untuk merepresentasikan sebuah proyek. Jadi, pastikan Anda tidak terlalu mendalam tentang aspek teoritis dari film Anda. Berceritalah bukan berteori, baik ketika Anda menulis proposal, pitching, dan editing,” kata Sushmit.  

Sushmit juga merefleksikan pentingnya menulis rencana dan estimasi proyek secara rinci di proposal.

“Segalanya bisa terjadi. Kami memikirkan setahun ke depan, apa yang pasti terjadi dan yang mungkin terjadi atau tidak akan terjadi. Selalu estimasi apa yang akan terjadi berdasarkan pengalaman Anda,” jelasnya.

Cerita yang universal 

Keberhasilan Writing with Fire meraih berbagai penghargaan, tidak terlepas dari keteguhan dan sinergi antara produser, sutradara, dan editor. 

“Isu yang ada dalam film ini bersifat interseksional – menyangkut gender, media, hingga sistem kasta di India. Tetapi kami ingin mengemas hal kompleks tersebut secara universal. Kami menyadari hanya kami sebagai pembuat film yang paham caranya. Kami mendengarkan feedback dari banyak orang tetapi tetap kami yang memutuskan segala pertimbangan artistik,” ungkap Rintu.  

Kami menutup perbincangan dengan pertanyaan akhir: Bagaimana respon Meera, Suneeta, Shyamkali, dan jurnalis Khabar Lahariya lain? Apa harapan untuk film ini?  

“Mereka memberikan applause. Ini adalah momentum bersejarah bagi mereka karena selain Khabar Lahariya sedang dalam transisi menuju jurnalisme digital, cerita ini juga telah diputar di festival. Untuk harapan, salah satunya sudah dicapai di IDFA (International Documentary Film Festival Amsterdam) ketika kami memiliki kesempatan membawa Meera selaku jurnalis untuk mempresentasikan film ini. Harapan lainnya, kami bisa membawa pulang film ini untuk dipertontonkan di India secara luas,” tutup Rintu.

Sebuah perjalanan panjang yang berbuah manis bagi Writing with Fire.

Read this too

76 Days documentary film

76 Days Film: What Can We Learn

In a special occasion, In-Docs gets an opportunity to talk with the co-director of 76 Days film, Hao Wu. Together with other directors, Hao Wu…