School of Seeing menawarkan lokakarya unik bagi pembuat film dokumenter untuk menonton, mengulas, dan mendiskusikan strategi artistik dan sinematik film dokumenter pilihan.
Di edisi 2021, In-Docs didukung oleh Yayasan Cipta Citra Indonesia, Goethe Institut, dan The Why Foundation, mengadakan rangkaian SOS pada April - Agustus 2021. Sebanyak 20 peserta dari berbagai daerah di Indonesia telah diundang untuk mengikuti rangkaian program bersama dengan Teman Diskusi (Lisabona Rahman, Anggraeni Widhiasih, dan Adrian Jonathan Pasaribu) dan Pembicara Tamu (Aryo Danusiri, Amerta Kusuma, dan Aline Jusria).
Lima film dokumenter pilihan dengan topik berbeda, telah dihadirkan dan diulas secara mendalam.
Simak refleksi peserta terhadap lima film tersebut berikut ini:
Ulasan ini ditulis oleh Zaenal Muttaqien (Dosen Film, Politeknik Media Kreatif, Jakarta), dan dipublikasikan di Tribun Indonesia.
Manusia (Up) Normal
Over the Limit, karya Marta Prus ini bercerita tentang kehidupan Rita, atlet senam ritmik asal Rusia. Dalam karyanya, sang sutradara mencoba menyajikan perjuangan seorang atlet melawan batas kemampuan manusia biasa. Senada dengan pernyataan, “persiapan yang matang tidak akan mengkhianati hasil”, cerita diakhiri dengan buah manis: Rita meraih medali emas Olimpiade 2016 di Brazil. Ia mengalahkan sang juara dunia sekaligus rival senegara, Yana Kudryavtseva.
Namun, hal di atas adalah hasil menonton sekali. Dalam menonton kedua, saya coba lebih terlibat: memikirkan apa yang dialami tokoh, kenapa pembuat film menciptakan karya tertentu, muatan ideologis apa yang dikandung dalam film, dan seterusnya.
Yang saya tangkap berikutnya adalah sang sutradara mencoba menggambarkan Rita lebih personal. Meskipun ia adalah seorang atlet dan hidup berdasarkan aturan yang kaku dan ketat, ia adalah seorang manusia biasa. Ia butuh rehat, ingin mengobrol dengan pacar, bertumpu pada keyakinan religius, dan sesekali berharap bisa merayakan ulang tahun dengan keluarga dan teman.
Hal-hal ini ia perlukan guna menghadapi tekanan yang diberikan oleh sang pelatih, Irina Viner. Begitu kerasnya, ia sering menilai Rita tidak paham dasar senam ritmik. Di sisi lain, tekanan ini juga bisa dilihat datang dari negara, menimbang Rita adalah atlet representasi Rusia.
Over the Limit menyiratkan bahwa treatment yang dilakukan oleh Rusia pada atletnya tidak bersifat humanis. Sebagian penonton lain juga menganggap bahwa perlakuan pelatih dalam dunia olahraga sudah lumrah. Kedua penilaian di atas dalam diskusi mencitrakan keragaman apresiasi penonton. Relativitas pada setiap pemaknaan yang ditafsirkan berkait kelindan dengan sosial, budaya, politik, yang dimiliki setiap penonton.
Dari ruang latihan, ruang privat Rita pun tak luput disorot Marta Prus. Paling tidak ada 2 hal yang jadi fokus: latar belakang dan motivasi Rita. Dalam apartemen yang sederhana, terlihat jejeran piala di setiap sudut rumah. Indikasinya: Rita sudah lama mendedikasikan durasi hidupnya sebagai atlet. Saya mengira mereka tidak berasal dari kelas atas. Lantas, mungkin kelangsungan hidup sekeluarga juga bergantung kepada profesi Rita. Hal di atas tidak lugas terlihat. Namun, dialog Rita dengan ayahnya yang dirawat di ruang khusus mengindikasikan urgensi dan motivasi Rita menjadi juara.
Over the Limit adalah film dengan latar belakang olahraga yang tidak akan membawa penonton pada pengalaman yang mengganggu penonton secara etis maupun psikis. Beda rasanya dengan film dokumenter lain soal pembunuhan, rasisme, ketidakadilan, dan sebagainya. Di Indonesia, pengalaman pahit bisa dirasakan pada saat menonton film dokumenter karya Joshua Oppenheimer dan Christine Cynn, the Act of Killing (2012), sebuah film kesaksian para pelaku jagal pada peristiwa 1965-1966.
Saya rasa, Marta Prus hanya berusaha memperlihatkan bahwa Rita adalah manusia biasa. Atlet juara bukan berarti ia adalah superhero. Ia bisa sekaligus merasakan kelelahan setelah latihan, bertenaga saat tanding, dan depresi begitu kalah.
Ulasan ini ditulis oleh Armin Septiexan (pembuat film).
Refleksi Like The Others
Pembuka Like The Others menghadirkan adegan dalam sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Kita melihat seorang remaja laki-laki berambut pirang, mengenakan baju berlengan panjang & berkacamata sedang memperkenalkan dirinya serta kondisi yang dialaminya di lingkungan sosial di mana orang-orang sering merasa heran dan menyebutnya aneh. Remaja laki-laki itu mengatakan bahwa dia hanya ingin menjadi seperti yang lainnya (like the others); sejalan dengan judul film. Dari argumen ini saya membatin, perbedaan apakah yang melekat dan serius dalam diri remaja laki-laki sehingga dia mengatakannya dan ingin menjadi seperti lainnya?
Terasa sulit bagi saya untuk memilih adegan yang bisa ditelisik lebih dalam. Karena saya tidak melihat ada karakter utama dalam film ini. Begitu banyak karakter yang dihadirkan dengan segala problem dan penanganan berbeda. Saya tidak melihat perubahan karakter dalam tokoh pasien, orangtua ataupun para tenaga medis.
Namun ada satu hal yang menarik: ketika terjadi dialog antara Christian (pasien), ibunya, dan psikolog. Ruang yang begitu dekat ini bisa menghadirkan interaksi yang jarang kita bisa alami langsung: bagaimana sesi dengan psikolog berlangsung.
Kita diperlihatkan pengakuan Christian yang ditepis kondisinya oleh sang ibu karena trauma masa lalu, bagaimana Christian merasa mengalienasi dan menghilangkan kepercayaannya pada orang lain, hingga kesadaran sang ibu atas kesalahannya dan saran dari psikolog memberikan ruang apresiasi dan kepercayaan penuh untuk kesehatan mentalnya. Momen ini bagi saya menarik sekali.
Film ini tidak membumbui dirinya dengan dramatisasi. Adegan-adegannya diambil medium shot yang begitu sabar merekam proses-proses panjang dan diegetic ambience mendominasi sepanjang film.
Ulasan ini ditulis oleh Twina Paramesthi (pegiat film).
Refleksi El Bulli
Riuh tetapi tidak ricuh, El Bulli berbeda dari acara reality show kompetisi memasak yang dibintangi oleh Gordon Ramsay, dokumenter garapan Wetzel ini menunjukkan kondisi dapur sebuah restoran terkemuka di Spanyol yang teratur dalam proses menyiapkan makanan.Tidak terdapat adegan saling menghardik yang seru antar koki ataupun pelayan yang mengantarkan makanan untuk pengunjung restoran.
Dokumenter berdurasi 108 menit ini tidak hanya menampilkan kegiatan masak-memasak di dapur saja, tetapi juga menggambarkan mulai dari penyusunan resep makanan, proses pelatihan pembuatan makanan kepada tim koki baru, hingga proses mendokumentasi menu baru. El Bulli terbagi ke dalam dua babak, yakni babak pertama adalah percobaan resep baru dan babak kedua pelatihan tim dalam menyajikan makanan.
Sayangnya Ferran Adrià dan koki lainnya tidak banyak berkata-kata ketika mencicipi masakan seperti banyak kritikus. Kalaupun ada, sulit dipahami kebanyakan penonton. Ketika mereka mencicipi makanan, pengambilan gambar berfokus pada ekspresi muka mereka selama beberapa detik saja. Saya sadar El Bull bukan dokumenter tentang makanan, tetapi proses kreatif dari penciptaan di sebuah restoran.
Sejujurnya, El Bulli bikin cukup jenuh. Saya tidak menyukai film beralur cerita lambat dan tidak berplot. Namun, dokumenter ini menyadarkan saya restoran yang elegan belum tentu kacau di dalamnya. Dokumenter garapan Wetzel ini begitu kontras dengan reality show macam Masterchef. Dalam reality show, dapur ditampilkan mencekam. Sedangkan di El Bullifilm ini tidak ada teriakan drama antar koki. Tujuan utama dari dokumenter ini bukan untuk menghibur. Jangan harap ada kepanikan karena kompor terbakar di restoran dengan 2 juta calon pengunjung per tahunnya.
Ulasan ini ditulis oleh Yulika Anastasia Indrawati (pembuat film) dan dipublikasi di Imaji Papua.
A simulation of democracy system in an elementary school in China
Selama 55 menit, Please Vote for Me membawa penonton hanyut dalam alur dan ritmenya. Sang sutradara mengemas film yang sarat akan lapisan–lapisan pesan dengan cara yang ringan.
Film ini diawali dengan sebuah pertanyaan, “apa itu demokrasi?” dan “apa itu pemilihan?” yang ditanyakan kepada anak–anak berusia 8 tahun yang terlahir dan dibesarkan di Tiongkok. Negara dengan sistem komunisme dan terkenal dengan kediktatoran pemimpinnya.
Nilai–nilai itu sebetulnya ditanamkan ke anak-anak sejak kelas 1 melalui upacara bendera, yel–yel, atau lagu di kelas. Namun, ada upaya pengenalan demokrasi melalui rangkaian pemilihan ketua kelas. Film merekam adegan proses demokrasi di setiap tahapan pemilihan. Ada 3 calon ketua kelas sebagai protagonis film ini: Luo Fei, Cheng Cheng dan Xu Xiaofei.
Beberapa adegan akan membuat kita tersenyum, misalnya saja saat Xu Xiaofei menangis diejek oleh rivalnya (kandidat ketua kelas) diikuti oleh adegan permintaan maaf oleh Cheng Cheng dan timses-nya. Atau bagaimana timses yang direkrut menjalankan perintah untuk memprovokasi teman–teman sekelas dan berupaya menjatuhkan yang lain. Debat kandidat yang ditunjukan di depan kelas juga menjadi sebuah adegan yang menarik untuk memperlihatkan kecakapan seorang calon pemimpin, sebagaimana pertarungan orang dewasa dalam panggung politik.
Please Vote for Me juga menyorot keterlibatan masing–masing orang tua calon ketua kelas. Bukan hanya menjadi motivator, tetapi juga sebagai juru strategi pemenangan. Mereka bahkan mengajarkan cara–cara kotor yang dengan lugu diikuti si anak.
Bagi saya, film ini banyak mendudukkan adegan sebagai representasi makna yang lebih besar. Caranya, begitu halus dan menarik. Praktik pemilihan pada anak-anak bagi saya mengindikasikan sistem demokrasi adalah sesuatu yang baru yang di negara mereka.
Tiga orang tokoh yang dipilih mewakili kelas dan latar yang mirip di dunia nyata. Luo Fei sebagai incumbent didukung orang tuanya yang berprofesi sebagai Direktur Kepolisian. Kondisi ini menyiratkan kemapanan. Orang tua Cheng Cheng adalah produser televisi. Keluarga ini jadi wakil pihak media dan masyarakat yang kritis dan menginginkan pembaruan. Sementara Xu Xiaofei dibesarkan oleh ibunya (orang tua tunggal) yang bekerja sebagai karyawan biasa. Mereka jadi wakil kelompok perempuan yang sering dianggap lemah dalam konstruksi sosial masyarakat.
Interaksi ketiga tokoh ini lalu mencerminkan kemungkinan proses yang dilalui masyarakat ketika dikenalkan pada sistem baru, dalam hal ini demokrasi. Saya rasa, proses itu butuh usaha lebih sehingga seluruh elemen masyarakat ada di level yang sama. Hal ini, terwakili oleh shot seorang anak kesulitan menghapus tulisan di papan tulis bagian atas hingga harus melompat-lompat. Namun situasinya bisa menegangkan. Seperti rivalitas antar calon ketua, dihadirkan lewat adegan Cheng Cheng dan Luo Fei buang air di toilet sambil berdebat. Secara keseluruhan, film ini saya apresiasi sebagai tontonan yang menarik, mengedukasi, menghibur, dan penuh dengan pesan yang mendalam.
Ulasan ini ditulis oleh Ridho Fisabilillah (pegiat film).
Mengupas Sosial Politik Afrika Selatan Melalui Terompet Terompet Perayaan Piala Dunia
Sampai film ini selesai saya hanya sedikit merasa tahu negara bagian di Afrika dan keadaan sosial politiknya. Dalam durasi 75 menit, Benjamin Kahlmeyer mengajak penonton mengintip daerah yang kerap kali diangkat isunya: dari hak yang terenggut karena ras hingga dinamika politiknya.
Sejauh ini, film tentang dunia orang-orang berkulit hitam yang saya tonton selalu menampilkan suasana timpang atau kesedihan yang tak usai. Dugaan ini menyertai awal saya menonton film. Saya hanya tinggal menunggu penderitaan apa lagi yang akan disajikan.
Namun, cukup tak terduga, film mengupas konflik sosial politik melalui sesuatu yang dirayakan oleh subjek: lewat perhelatan piala dunia di Afrika Selatan tahun 2010. Bagi saya, ini metode yang baik. Isu sensitif bisa disinggung dengan seimbang melalui perayaan dan hiburan.
Kegemaran masyarakat pada sepak bola jadi kendaraan untuk masuk ke isu yang lebih detail. Seperti protagonis anak perempuan yang hobi bermain bola jadi pintu membicarakan bentuk patriarki dan stereotipe yang dihadapi di lingkungannya. Selain itu, film juga menampilkan pentingnya dukungan didapat dari keluarga. Meski tekanan untuk keluar dari rantai kemiskinan juga jadi dasar dari mana kesadaran itu muncul.
Kemudian film loncat membahas ketimpangan. Ajang hajat megah sekelas Piala Dunia tentunya memakan biaya besar. Namun, ia dipublikasikan sebagai perayaan untuk seluruh masyarakat Afrika Selatan. Padahal, ketimpangan merajalela. Setega itukah pemerintah? Tentu iya. Jadi begitu ironis, karena masyarakat seperti tersihir melupakan keadaan perut dan pendidikan anak-anak mereka dengan merayakan Piala Dunia.
In some scenes, we can see interviews. Unfortunately, it looks like Mamelodi wants to explore a lot of topic in a hurry and for a limited duration. Besides inequality issues, it also highlights mental health, and even politics. While watching this, I keep wondering: Why are there so many houses in Mamelodi made from bars? Is it so unsafe to live there?
Mungkin karena lompatan-lompatan itu, film ini merasa perlu mengandalkan musik sebagai jembatan. Di sisi lain, penonton jadi terbatas ruang interpretasinya. Sebab, suasana itu selalu diintervensi musik yang terkesan mendramatisir. Akibatnya, kecil kemungkinan empati tumbuh secara organik.
Saya menjadi curiga seperti apa bentuk keberpihakan filmmaker terhadap isu yang diangkat. Apakah ia benar-benar menyuarakan suara subjek film? Ataukah filmmaker lebih tertarik melawan narasi pemerintah dengan wawancara dan soundtrack yang menggiring, ketimbang filmmaker mencari tahu lebih dalam ukuran-ukuran kebahagiaan dari subyek film misalnya?
Entahlah. Ini hanya barangkali.