Bercerita tentang seorang guru Silviani, yang harus menjalankan perannya sebagai istri, ibu, pegawai, anak perempuan, teman, koki di rumah, pengurus rumah, supir anak-anak, perawat keluarga, koordinator kegiatan, juri,hakim, sipir, wasit, penata rambut, dan manajer. Suami Vivi tak bisa membantunya. Vivi tahu sang suami berpikir bahwa ia mampu mengerjakan semuanya sekaligus. Tapi bukan itu yang diharapkan Vivi. Bebannya bukan hanya daftar tugas, tanggung jawab, dan pekerjaan. Bebannya adalah mental: hal kecil yang perlu ia ingat, kecemasan yang ia miliki, impian yang dicita-citakannya. Hal tersebut memenuhi benarknya. Ia tahu suaminya tak paham kondisinya, tapi entah bagaimana semua ini dianggap normal.
Vivi merasa karirnya stagnan. Kami berkesempatan mengikuti keseharian Vivi termasuk ketika ia sedang menjalani evaluasi dari kepala sekolah. Hasil evaluasi memengaruhi gajinya. Di balik itu, sistem penilaian terhadap guru di sekolahnya tidak jelas dan tidak transparan. Kenaikan upahnya tidak terlalu signifikan, lebih ironisnya sang guru baru bisa menikmati kenaikan upah tersebut lima tahun kemudian. Ia mempertanyakan karier rekannya yang masih lajang yang justru lebih cemerlang daripada kariernya, meski beban kerja mereka sama. Ia tahu hal itu terjadi karena adanya stereotip wanita yang sudah menikah menerima upah yang lebih rendah daripada wanita yang belum menikah. Vivi bahkan telah menolak pekerjaan tambahan karena ia perlu merawat keluarganya. Di samping itu, suaminya yang juga bekerja sebagai guru, selalu menjadi guru pendamping bagi siswa yang akan mengikuti Olimpiade Sains setiap tahunnya, karir suaminya pun melesat.
Meski begitu, Vivi memilih tetap bertahan sebagai guru, karena ia membutuhkan nafkah dan tak ada pilihan lain. Ia bersyukur masih memiliki pekerjaan di sekolah tersebut, sekolah lain bahkan memberhentikan tenaga pengajar tanpa pesangon. Meski bertahan adalah hal tersulit yang pernah dilakukannya, ia percaya bahwa itu adalah bentuk pengorbanan yang berharga. Baginya. Dan bagi keluarganya.